Muslim Burma Yang Terlupakan |
Dunia bereaksi keras terhadap rezim Myanmar yang telah melakukan sikap keras terhadap pengunjuk rasa yang sebagian besar merupakan pendeta Budha. AS dan sekutunya pun mengecam peristiwa ini. Pemimpin negeri Islam pun ikut. Tentu saja sikap kejam rezim Myanmar tidak bisa diterima oleh siapapun, termasuk umat Islam. Namun hanya hirau terhadap kalau yang menjadi korban adalah pendeta Budha, disisi lain tidak perduli saat umat Islam di Myanmar dibantai, jelas bukan sikap yang adil. Padahal jauh sebelumnya hingga saat ini muslim di Myanmar mengalami kekejaman yang luar biasa dari rezim berkuasa.
Burma – Beberapa Fakta Yang Disisihkan
Myanmar yang dulu dikenal dengan Burma adalah negera yang mayoritas penduduknya beragama Budha (lebih 85 %), minoritas kristen (kurang dari 4,5 %), Hindu (1,5%) yang sebagian besar tinggal di luar bandar. Populasi muslim terbesar adalah Rohingya (sekitar 3,5 juta orang). Penduduk muslim sebagian besar tinggal di Rakhine (dulu Arakan) yang berbatasan dengan Bangladesh. Sejak puluhan tahun dahulu, ratusan ribu kaum Muslimin Rohingya melarikan diri ke Bangladesh disebabkan kekejaman pemerintahan Burma dan penganut Buddha terhadap mereka. Selain Bangladesh, mereka juga melarikan diri ke Pakistan, Arab saudi, UAE, Thailand dan Malaysia untuk berlindung dan sebahagian besar dari mereka masih berstatus pelarian hingga kini. Penolakan Bangladesh dan negara muslim lainnya termasuk Malaisya membuat kaum muslim Rohingya dipaksa kembali ke Birma. Nasib mereka bertambah menderita, setelah tahun 1982 pemerintah junta Burma meloloskan satu undang-undang yang dinamakan “Burma Citizenship Law of 1982”. Undang-undang ini bersifat sentimen keagamaan dan penuh diskriminasi. Muslim Rohingya tidak diakui sebagai warganegara, malah diberi julukan ‘pendatang’ di tanah air mereka sendiri. Setelah itu, keseluruhan hak mereka dinafikan dan kaum Muslimin ditangkap secara besar-besaran, dipukul, disiksa dan dijadikan buruh paksa. Kaum muslimah Rohingya pun dilecehkan beramai-ramai dengan cara yang ganas.
Pemerintahan junta menafikan semua sejarah penduduk Muslim Rohingya, bahasa mereka, kebudayaan, adat-istiadat dan segala hubungan mereka dengan Arakan, tanah tumpah darah mereka. Malah dengan undang-undang baru ini, kaum Muslimin tidak dibenarkan terlibat segala bentuk perdagangan.
Tidah hanya itu, pihak junta telah menyebarkan propaganda jahat dan segala informasi yang salah untuk memberikan citra buruk kaum Muslimin untuk mendapatkan dukungan penganut Budha. Sejak diluluskan ‘Burma Citizenship Law’ ini juga, anak-anak kaum Muslimin hak belajar mereka di luar dari Arakan (perlu dijelaskan di sini bahawa semua institusi pendidikan profesional adalah terletak di luar Arakan). Jadi, pelajar Muslim dari Arakan langsung tidak berpeluang melanjutkan pendidikan mereka. Undang-undang zalim ini telah menyebabkan bukan saja mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan, malah ada yang langsung tidak dapat sekolah (kerana tekanan ekonomi, penangkapan, penyeksaan dan lain-lain lagi). Hal ini menyebabkan sebagian mereka buta huruf.
Muslimah juga tidak dibenarkan memakai hijab dan banyak yang dipaksa bekerja di barak-barak. Mereka juga sering diperkosa tanpa belas kasihan. Pemerintah junta sering merobohkan sekolah-sekolah dan masjid-masjid sesuka hati mereka. Kaum Muslimin turut dinafikan hak dari segi perobatan , baik di rumah sakit, maupun di klinik-klinik. Mereka pun terpaksa membayar dengan harga yang terlampau tinggi untuk biaya perawatan yang mereka dapatkan.
Umat Islam juga tidak dibenarkan terlibat baik di dalam politik ataupun lembaga-lembaga sosial yang dilarang untuk memberi bantuan kepada mereka. Tidak cukup dengan ini, kaum Muslimin juga tidak dibenarkan menunaikan haji ataupun menyembelih kurban saat idul adha. Mereka juga sering dipaksa untuk meninggalkan nama muslim dan diganti dengan nama Budha.
Penderitaan Kaum Muslimin di Burma
Semenjak Burma menyerang Arakan pada 1784M, penduduk Muslim Arakan telah dijadikan sasaran untuk dihapuskan dan dibunuh secara besar-besaran (genocide). Motif mereka adalah untuk menukar Arakan menjadi satu wilayah Buddha yang berpengaruh di Burma. Menyusul pemisahan Burma dari India-British dan pengenalan Peraturan Rumah (Home Rule) 1937, peluang mereka untuk menghapuskan umat Islam terbuka luas.
Bagaimanapun, setelah junta tentera mula berkuasa pada 1962, senario politik di Burma berubah dengan drastik. Dengan kuasa dan kekuatan ketenteraan yang ada, penindasan besar-besaran ke atas kaum Muslimin terus meningkat berlipat kali ganda. Selama hampir empat dekad sahaja, lebih kurang 1.5 juta Muslim Rohingya dipaksa keluar dari tanah air mereka , sementara yang masih tinggal, hanya menghitung hari dengan penuh ketakutan dan penderitaan. Pada tahun 1942, terjadi kekosongan pemerintahan saat pihak British keluar dari Arakan. Penduduk Burma mengambil kesempatan ini untuk memprovokasi penganut Buddha di Arakan. Akibatnya terjadilah kerusuhan besar yang menyebabkan 100,000 kaum Muslimin dibunuh dan ratusan ribu lagi telah melarikan diri ke Bengal Timur.
Pada tahun 1949, sekali lagi terjadi rusuhan yang dicetuskan oleh Burma Territorial Forces (BTF) yang melakukan keganasan dan pembunuhan ke atas ribuan Muslim dan ratusan tempat kediaman mereka dimusnahkan.Lebih kejam, melalui ‘Rencana 20-tahun Pembasmian Rohingya’ (the 20-year Rohingya Extermination Plan), Majelis Negeri Arakan (Arakan State Council) di bawah kontrol langsung Majlis Negara Burma (State Council of Burma) telah melancarkan ‘kod operasi’ yang dinamakan ‘Naga Min’ (King Dragon Operation). Ini merupakan operasi terbesar, terkejam dan mungkin yang terbaik pernah didokumentasikan pada tahun 1978. Operasi ini dimulai pada 6 Februari 1978 di sebuah perkampungan Muslim terbesar, Sakkipara di Akyab, yang telah menghantar satu gelombang kejutan ke seluruh kawasan dalam masa yang singkat.
Berita mengenai penangkapan dan pembunuhan besar-besaran kaum Muslimin, lelaki dan wanita, muda dan tua, penyiksaan, pembunuhan dan rogol di Akyab ini telah meresahkan kaum Muslimin di Arakan Utara. Di bulan Maret 1978, operasi telah sampai ke Buthidaung dan Maungdaw. Ratusan Muslim lelaki dan wanita dijebloskan ke dalam penjara dan banyak yang disiksa dan dibunuh. Kaum wanita pula telah diperkosa seenaknya di pusaat tahanan. Ketakutan melihat kekejaman yang tidak berperikemanusiaan ini dan ditambah dengan nyawa, harta, kehormatan dan masa depan yang tidak menentu, membuat besar Muslim Rohingya lari meninggalkan kediaman masing-masing sampai ke perbatasan Burma-Bangladesh.
Sekali lagi pada 18 Julai 1991, kampanye pembasmian etnik (baca: Islam) dilancarkan dengan nama kod ‘Pyi Thaya’. Terjadilah pembunuhan dan pemerkosaan kejam ke atas kaum Muslimin Rohingya, pemusnahan tempat tinggal mereka, termasuklah masjid-masjid. Keadaan ini sekali lagi memaksa Muslim Rohingya lari beramai-ramai meninggalkan kampung halaman mereka mencari perlindungan di Bangladesh.Akan tetapi , kerana ada perjanjian Bangladesh-Myanmar, sebahagian mereka telah dikembalikan ke Arakan. Sebagian lagi hidup dalam buangan dan ketakutan.
Tahun 1999 saja, dilaporkan tidak kurang dari 20 operasi besar telah dilancarkan terhadap Muslim Rohingya oleh pemerintah junta. Laporan juga menyebutkan antara tahun 1992 hingga 1995, lebih dari 1,500 Muslim (kebanyakannya pemuda) telah dibunuh, ribuan lagi telah ditangkap dan disiksa. Muslimah pula senantiasa menjadi korban pemerkosaan dan hidup dalam ketakutan. Masjid-masjid yang telah sekian lama ada dirobohkan dan diganti dengan pagoda-pagoda baru penganut Buddha. Yang lebih menyedihkan, semua pagoda itu dibangun dengan peluh dan keringat kaum Muslimin yang dipaksa bekerja keras dan disiksa untuk menyiapkannya. Dalam waktu yang sama , pemerintah ‘mencipta’ satu keadaan kelaparan di kawasan tersebut yang memaksa Muslim Rohingya keluar dari situ dan ada yang mati kelaparan.Dalam tahun 2001, kerusuhan terjadi lagi di Arakan di mana ratusan masjid dirobohkan dan 10 Muslim serta 2 orang penganut Buddha dilaporkan terbunuh. Kerusuhan ini meletus antara lain kerana pemusnahan patung Buddha yang dijumpai di Lembah Bamiyan, Afghanistan oleh Taliban dan juga kerana tersebarnya seleberan yang memfitnah kaum Muslimin yang dilakukan oleh penganut Buddha dan anggota-anggota ‘State Peace and Development Council (SPDC)’ pimpinan Than Shwe (Ketua Tertinggi Junta).
SPDC memang terkenal dengan gerakan ‘anti-Muslim’ yang sering mereka lancarkan di mana ulama dan guru-guru agama Muslim Rohingya sering menjadi korban kekejaman mereka, disamping wanita dan pemuda-pemuda Muslim. Kebanyakan dari pemimpin Muslim Rohingya sekarang ini sedang menjalani masa penjara yang lama atas dakwaan-dakwaan palsu yang diada-adakan terutamanya berkaitan kewarganegaraan.Selain kerusuhan dan pembunuhan, propaganda anti-Muslim merupakan satu perkara rutin yang dimainkan oleh media negara Myanmar. Pada tahun 2003, buku-buku dan pita-pita rakaman yang menghina Islam dan kaum Muslimin bisa didapati dengan mudah di seluruh Burma, malah ada yang dibagi-bagikan secara gratis. Pemerintah Burma percaya dapat menguasai Arakan selamanya jika Arakan berhasil diubah menjadi negeri Buddha sepenuhnya. Hasilnya, rakyat Burma dan penganut Buddha di Arakan khususnya yang telah diracun pemikiran mereka ini terus-terusan berusaha menghapuskan Islam dan kaum Muslimin Arakan. Pada tahun 2004, Muslim Rohingya telah dipaksa untuk mengamalkan ajaran Buddha dan dipaksa ikut upacara Buddha . Mereka dipaksa menyumbang uang di dalam setiap acara Buddha yang sering dilakukan. Kawasan ibadat kaum Muslimin juga sering dicemari dengan dijadikan tempat mengubur mayat penganut Buddha. Sementara kaum Muslimin dipaksa membayar biaya penguburan mayat saudara mereka yang meninggal. Arakan Utara dijadikan zone tentara dengan pelbagai kezaliman yang mereka lakukan atas kaum Muslimin. Muslim dieksploitasi menjadi buruh paksa untuk membangun asrama tentara, jalan, jambatan, tambak, pagoda, gudang, kolam dan sebagainya tanpa bayaran apa-apa. Kaum wanita pula mengalami ketakutan dengan peristiwa pemerkosaan yang sering terjadi di kawasan tersebut, baik oleh tentera atau pihak kontraktor yang ada.
Demikianlah sebahagian dari penderitaan saudara-saudara kita di Myanmar yang tidak mendapat perhatian dan tidak terbela. Masyarakat dunia hanya cendrung hanya hirau terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap pengunjuk rasa dari pendeta Budha. Begitu juga dengan para pemimpin kaum Muslimin yang nampaknya sangat bersimpati dan menunjukkan sokongan terhadap perjuangan demokrasi rakyat Myanmar, namun mereka tidak memperhatikan penderitaan dan kesengsaraan saudara seagama mereka yang semakin hari semakin mengerikan. Para pemimpin kaum Muslimin berusaha menyuarakan sokongan dan menuntut pembebasan seorang pemimpin demokrasi (Aung San Suu Kyi) yang dikenakan tahanan rumah . Namun mereka diam seribu bahasa terhadap ratusan ribu saudara-saudara mereka yang dibunuh dan yang sedang tersiksa dipenjara-penjara Myanmar.
Sekali lagi kasus ini memberikan pelajaran penting bagi kita tentang pentingnya Khilafah Islam yang benar-benar melindungi umat Islam. Pembantaian dan pembunuhan yang terjadi di Myanmar, Bosnia, Irak, Afghanistan, Palestina, terjadi karena saat ini tidak ada Khilafah yang membela kaum muslim. Berharap pada pemimpin negeri Islam ’jauh panggang dari api’. Sebab, pemimpin negeri Islam hanya mengikuti agenda ’big boss’ mereka AS dan sekutunya yang justru menjadi pelaku utama penjajahan kaum muslim. Saatnya Khilafah memimpin dunia. (Farid wadjdi; sumber www.mykhilafah.com)